Jumat, 04 September 2015

Sejarah Lengkong BSDcity

Peristiwa Heroik Lengkong

DUA PAMAN BRIGJEN Prabowo gugur dalam pertempuran Lengkong.
    
DI sela-sela kompleks perumahan Bumi Serpong Damai (BSD), Tangerang,  terselip monumen bersejarah. Monumen itu, Kamis pekan lalu, ditinjau Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal R. Hartono, Pangdam Jaya Mayor Jenderal Wiranto, dan Kapolda Metro Jaya Mayor Jenderal Dibyo Widodo. 
Pejuang Kemerdekaan ‘45 
Tampak pula keluarga besar pengusaha Hashim Djojohadikusumo dan  sejumlah anggota keluarga besar ekonom Sumitro Djojohadikusumo. Di sudut lain, berjajar para taruna Akademi Militer Magelang. Yang menarik, Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia, juga ada di sana bersama suaminya, Taufik Kiemas.
  
Kehadiran mereka di sana untuk memperingati Peristiwa Lengkong yang  terjadi persis di lokasi itu. Tersebut kisah 50 tahun silam, tatkala tentara Sekutu melucuti tentara Jepang di mana saja. Di Indonesia, tentara Sekutu minta bantuan Tentara Republik Indonesia (TRI) sebelumnya bernama Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Dan yang kerap terjadi, TRI bertindak untuk kepentingan perjuangan Indonesia sendiri, bukan karena perintah Sekutu.
  
Tersebutlah Resimen IV TRI di Tangerang, Jawa Barat. Resimen ini mengelola Akademi Militer Tangerang. Tanggal 25 Januari 1946, Mayor Daan Mogot memimpin puluhan taruna akademi untuk mendatangi markas Jepang di Desa Lengkong. Daan Mogot didampingi sejumlah perwira. Antara lain Mayor Wibowo, Letnan Soetopo, dan Letnan Soebianto Djojohadikusumo.
  
Dengan mengendarai tiga truk dan satu jip militer, mereka berangkat ke  Lengkong. Di depan pintu gerbang markas, tentara Jepang menghentikan mereka. Hanya tiga orang, yakni Mayor Daan Mogot, Mayor Wibowo, dan seorang taruna Akademi Militer Tangerang, yang diizinkan masuk untuk mengadakan pembicaraan dengan pimpinan Dai-Nippon. Sedangkan Letnan Soebianto dan Letnan Soetopo ditunjuk untuk memimpin para taruna yang menungggu di luar.
  
Semula proses perlucutan berlangsung lancar. Tiba-tiba terdengar rentetan letusan senapan dan mitraliur dari arah yang tersembunyi. Senja yang tadinya damai jadi berdarah. Sebagian tentara Jepang merebut kembali senjata mereka yang semula diserahkan. Lantas berlangsung pertempuran yang tak seimbang. Karena kalah kuat, korban berjatuhan di pihak Indonesia. Sebanyak 33 taruna dan 3 perwira gugur dalam peristiwa itu. Perwira yang gugur adalah Daan Mogot, Letnan Soebianto, dan Letnan Soetopo.
  
Peristiwa heroik itulah yang diperingati di Serpong dan dihadiri kerabat para pejuang yang gugur. Bila Megawati tampak di antara mereka, itu karena ia mendampingi Taufik Kiemas, suaminya. Salah seorang taruna yang gugur adalah paman Taufik.
  
Juga tak perlu kaget bila menyimak susunan panitia penyelenggara. Ketua Panitia adalah Komandan Komando Pasukan Khusus (Dan Kopassus) Brigadir Jenderal Prabowo Subianto. Tapi karena ia sedang berada di Irian Jaya, tugas Prabowo dijalankan Hashim Soejono Djojohadikusumo, adik Prabowo, selaku Ketua Pelaksana Panitia. Mereka memang pantas terlibat dalam perhelatan itu, karena Letnan Soebianto Djojohadikoesoemo dan taruna R.M. Soejono Djojohadikoesoemo yang gugur itu adalah paman kandung Prabowo dan Hashim.
  
Meski hajatan mengenang Lengkong sudah beberapa kali, kali ini terasa lain, karena hampir bertepatan dengan 50 tahun Indonesia Merdeka. “Peristiwa Lengkong menjadi salah satu bukti kongkret bahwa kemerdekaan Indonesia diperoleh atas ridho Ilahi melalui perjuangan gigih dan tetesan darah,” kata Kasad Jenderal R. Hartono. (PBS dan Genot Widjoseno)/GIS.-
Tugas Internasional
  
Seperti dijelaskan oleh mantan instruktur di Akademi Militer Tangerang, Islam Salim yang juga bertindak sebagai penasihat panitia peringatan ke-51 peristiwa itu, pertempuran Lengkong merupakan bagian dari pelaksanaan tugas internasional Indonesia yang pertama.
  
“Tugas humaniter internasional yang pertama ini, menelan korban 34 taruna dan tiga perwira,” papar Salim kepada wartawan di Jakarta, Jumat (24/1).
  
Tugas tersebut sebagai tindak lanjut dari hasil perundingan 30 November 1945 antara antara Indonesia dengan delegasi Sekutu. Indonesia diwakili oleh Wakil Menteri Luar Negeri Agoes Salim yang didampingi oleh dua dua perwira TKR yaitu Mayor Wibowo dan Mayor Oetarjo. Sedangkan pihak Sekutu (Inggris), Brigadir ICA Lauder didampingi oleh Letkol Vanderpost (Afrika Selatan) dan Mayor West.
  
Pertemuan yang merupakan Meeting of Minds, menghasilkan ketetapan tentang pengambil-alihan primary objectives tentara Sekutu oleh TKR yang meliputi perlucutan senjata dan pemulangan 35 ribu tentara Jepang yang masih di Indonesia, pembebasan dan pemulangan Allied Prisoners of War and Internees (APWI) yang kebanyakan terdiri dari lelaki tua, wanita, dan anak-anak berkebangsaan Belanda dan Inggris sebanyak 36 ribu.
  
Berdasarkan kesepakatan 30 November 1945, tentara Sekutu tidak lagi memiliki alasan untuk memasuki wilayah kekuasaan Indonesia maupun menggunakan tentara Jepang untuk memerangi Indonesia dengan dalih mempertahankan status quo pra- Proklamasi. Perintah itu disampaikan oleh pihak Sekutu kepada Panglima Tentara Jepang Letjen Nagano.
  
Kesepakatan itu mempunyai makna penting bagi Indonesia karena menjadi suatu bukti nyata adanya pengakuan de facto atas keberadaan negara Indonesia oleh dunia internasional.
  
Kenyataan itu membuktikan juga bahwa bangsa Indonesia sejak dulu telah melakukan tugas kemanusiaan.
  
Sekitar tanggal 5 Desember 1945 ditegaskan oleh Kolonel Yashimoto dari pimpinan tentara Jepang kepada pimpinan Kantor Penghubung TKR di Jakarta cq Mayor Oetarjo bahwa para komandan tentara Jepang setempat sesuai dengan keputusan pimpinan tentara Sekutu, telah diperintahkan tunduk kepada para komandan TKR setempat yang bertanggung jawab atas pemulangan mereka.
  
Keadaan Tak Menentu
  
Sejak perundingan 30 November 1945 sampai dengan pertengahan Januari 1946, ternyata sikap pihak tentara Jepang di Lengkong tetap tidak kooperatif. Akibat sikap tersebut maka tanggal 23 Januari 1946 maka Kepala staf Resimem IV Tangerang Mayor Daan Yahya menemui perwira penghubung Mayor Oetarjo di Jakarta.
  
Maksudnya, meminta agar penyerahan senjata oleh Jepang di Lengkong dapat diselesaikan pada tingkat markas besar tentara Jepang di Jakarta.
  
Kemudian Mayor Oetarjo berusaha mengadakan hubungan dengan Letkol Miyamoto, wakil kepala staf tentara Jepang yang bertanggung jawab atas operasi pemulangan pasukan Jepang dari Indonesia. Tetapi Miyamoto yang sedang berada di Bandung dan asistennya mengusulkan Oetarjo kembali dalam 2-3 hari lagi.
  
Menurut catatan Mayjen TNI (Purn) RHA Saleh dalam bukunya Akademi Militer Tangerang Dan Peristiwa Lengkong diceritakan, dalam keadaan tidak menentu pada tanggal 24 Januari diterima informasi bahwa pasukan Belanda dari Bogor sudah menduduki Parung dan selanjutnya mereka akan bergerak ke utara untuk menduduki Lengkong.
  
Bila benar demikian maka kamp pasukan Jepang di Lengkong akan dikuasai Belanda dan jalan ke Tangerang akan terbuka. Dengan demikian kedudukan Resimen IV berikut Akademi Militer Tangerang akan terancam.
  
Maka menurut pertimbangan pimpinan Resimen waktu itu, harus diambil tindakan cepat untuk mengamankan kedudukan Resimen IV Tangerang dan Akademi Militer Tangerang dengan mendahului aksi Belanda. Itu sebabnya Resimen IV Tangerang dan Akademi Militer Tangerang melakukan aksi merebut senjata-senjata Jepang di Lengkong secara paksa.
  
Sebagai langkah pertama, Mayor Daan Yahya cepat memanggil Mayor Daan Mogot dan Mayor Wibowo. Diputuskan untuk melaksanakan tugas perlucutan sesuai dengan hasil perundingan 30 November 1945 tanpa menunggu kepulangan Miyamoto dari Bandung.
  
Pada tanggal 25 Januari 1945 sekitar pukul 14.00 WIB, setelah melapor kepada Komandan Resimen IV Tangerang Letkol Singgih, berangkatlah pasukan TKR di bawah pimpinan Mayor Daan Mogot. Selain para taruna sebanyak dua seksi (sekitar 60 orang), dalam pasukan itu ada Mayor Wibowo, Letnan Soebianto Djojohadikoesoemo dan Letnan Soetopo. Mereka juga disertai empat serdadu India yang memakai seragam tentara Inggris.
  
Dengan mengendarai tiga truk dan satu jip militer hasil rampasan dari Inggris, para prajurit berangkat dan sampai di markas Jepang Lengkong pukul 16.00 WIB. Di depan pintu gerbang, truk diberhentikan dan pasukan TKR turun. Mereka memasuki markas tentara Jepang dengan Mayor Daan Mogot, Mayor Wibowo, dan taruna Alex Sajoeti (fasih bahasa Jepang) berjalan di depan. Pasukan taruna diserahkan kepada Letnan Soebianto dan Letnan Soetopo untuk menunggu di luar.
  
Tidak Seimbang  
Ketika Mayor Daan Mogot sedang menjelaskan maksud kedatangannya, para pasukan taruna sudah mulai mengumpulkan senjata.
  
Beberapa saat kemudian secara tiba-tiba terdengar bunyi tembakan, yang tidak diketahui dari mana datangnya.
  
Bunyi tersebut disusul rentetan tembakan dari pos-pos mitraliur yang tersembunyi dengan arah pada pasukan taruna yang terjebak. Sebagian tentara Jepang yang sudah menyerahkan senjatanya kemudian merebut kembali.
  
Dalam waktu singkat terjadilah pertempuran yang tidak seimbang antara Indonesia dan Jepang. Mayor Daan Mogot segera keluar dari meja perundingan dan berusaha menghentikan pertempuran tapi tidak berhasil.
  
Sebanyak 33 taruna dan 3 perwira gugur, lebih 10 taruna luka berat dan 20 taruna beserta Mayor Wibowo ditawan. Sedangkan tiga taruna yaitu Soedarno, Menot Sjam, dan Osman Sjarief berhasil meloloskan diri. Mereka tiba di Markas Resimen IV Tangerang, 26 januari pagi.
  
Tanggal 29 Januari 1946 di Tangerang diselenggarakan pemakaman kembali 36 orang yang gugur dalam peristiwa Lengkong, disusul penguburan seorang taruna Soekardi yang luka berat kemudian meninggal di rumah sakit.
  
Pertempuran Lengkong yang terjadi pada 25 Januari 1946 ini satu peristiwa di mana para taruna telah berani berkorban untuk Merah Putih. Nilai historis yang patut dihargai karena pada tahun 1946, Indonesia sudah punya Akademi Militer Tangerang yang para tarunanya memberi segala-galanya untuk bangsanya.
  
“Saya kira ini pertempuran yang sangat heroik itu, perlu kita abadikan. Peristiwa yang perlu kita kenang karena merupakan pewarisan nilai-nilai kepada generasi penerus,” kata Danjen Kopassus Mayjen TNI Prabowo Subianto.
  
Setiap tahun peristiwa pertempuran Lengkong selalu diperingati, yang uniknya berganti-ganti pejabat yang menjadi inspektur upacara (Irup). Antara lain Irup pada tahun 1992 Menhankam Jenderal TNI (Purn) LB Moerdani, tahun 1995 Menlu Ali Alatas, tahun 1996 Kasad Jenderal TNI R Hartono dan tahun 1997 Danjen AKABRI Mayjen TNI Purwantono.
  
Peristiwa Lengkong ini akan tampak kecil jika dilihat dari rangkaian perjuangan bangsa Indonesia merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Namun akan memiliki arti besar bila kita jadikan ukuran dari pengorbanan yang dapat dan patut diberikan bagi kepentingan bangsa.
  
Meskipun masyarakat belum begitu mengenal terjadinya peristiwa Lengkong, pemerintah nampaknya sekarang melihat bahwa kejadian 51 tahun lalu di Lengkong, cukup penting. Terbukti dalam tahun ini akan dilakukan sarasehan yang khusus akan membahas sekitar terjadinya pertempuran Lengkong dengan menghadirkan para pelakunya.


Berikut adalah segelincir foto-foto peninggalan sejarah lengkong yang masih ada dan bisa kita lihat di BSDcity-Serpong Utara 

Foto Mayor Daan Mogot dan Rumah peninggalan Belanda


Cagar Budaya Monumen Palagan Lengkong


Lambang NKRI yang Masih kokoh Bersandar 



Nama-Nama Tokoh Pejuang/Pahlawan Lengkong


Bundaran Yang sekarang ini menjadi kebanggaan Lengkong


Pasca setelah dirobohkannya Bunderan Lengkong yang kini beralih fungsi menjadi lampu merah 


Logo BSDcity sekarang ini


Lokasi BSDcity yang juga Saksi sejarah tragedi LENGKONG


Terimakasih telah berkunjung demikian sedikit kisah tentang kota kelahiran saya tercinta LENGKONG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar